Sunday, August 16, 2015

Simuntu, Hallowen dari Minangkabau / Sumatera Barat

simuntu, hallowen dari minangkabau

AlfhaZona - Dunia kreatifitas anak Indonesia bisa disebut mengalami krisis. Tak banyak lagi, misalnya, ditemukan lagu anak-anak yang ceria, kenes, riang sebagaimana dulu kita dengar di tahun 1980an. Penyanyi cilik lebih senang menyanyikan lagu berlirik dewasa; cinta, patah hati, dan sebagainya. Dalam hal permainan, banyak anak-anak tak lagi tahu bagaimana memainkan permainan tradisional daerahnya. Semua itu terkalahkan oleh game-game moderen, mulai dulunya nitendo, playstation sampai game online.


Alhasil, permainan tradisional yang dulunya bernuansa komunal, komunikatif, dan merangsang otak. Oleh keberadaan media elektronik justru menempatkan anak-anak Indonesia pada posisi sunyi, nir-sosialita, instan, dan konsumtif. Fenomena ini menjadi jamak dari kehidupan anak-anak di perkotaan. Tapi di Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, anak-anak daerah ini justru menikmati festival dolanan, permainan, yang rutin diadakan menyambut lebaran; tradisi Simuntu..

Tradisi simuntu di minangkabau

Simuntu: si hantu

Tak ada yang tahu darimana dan siapa yang mencetuskan perayaan Simuntu ini pada awalnya di Maninjau. Sejenak kita bisa temukan kesamaannya dengan tradisi Haloween di negeri Barat sana. Bedanya, dandanan anak-anak bule itu merefleksikan berbagai hantu yang menyeramkan, sementara Simuntu justru menunjukan kreatifitas anak Maninjau dalam memposisikan hantu sebagai periang hari.

Kehadiran Simuntu mengajarkan kepada anak-anak bahwa hantu itu tak ada. Yang ada hanya sebuah sosok yang didandani sejelek mungkin. Sehingga esensi rasa takut bagi anak-anak teralih kepada sesuatu yang nyata. Tak lagi pada hal yang diada-adakan dalam khayalan karena mereka diberi tahu orang tuanya pasca kegiatan itu siapa yang ada di balik pakaian dan berdandan sebagai Simuntu itu.

Festival Simuntu biasanya dilakukan setelah shalat Idul Fitri atau Idul Adha dengan ritual rias yang bagi anak-anak sangat menakutkan, namun mengundang senyum para orang tua melihat pakaian dan cara jalan Simuntu datang ke rumah-rumah mereka. Biasanya seluruh tubuh Simuntu dibungkus dengan daun kering. Anak-anak merangkainya menjadi pakaian utuh, mulai dari baju hingga celana.

Tak sedikit pun bagian tubuhnya yang kelihatan. Sedangkan mukanya ditutupi dengan topeng yang dibuat dari kertas kardus bekas yang kemudian dilukis seseram mungkin. Misalnya dengan menampilkan wajah binatang seperti serigala, atau sosok lain yang mereka bayangkan. Tapi beberapa Simuntu ada yang memekai sebo, penutup kepala.

Setelah selesai berdandan Simuntu akan diarak oleh teman-temannya. Sambil menabuh dua sampai empat tambur dan gendang tasa, mereka mendatangi rumah-rumah penduduk. Jalan mereka dibuat seperti gorila raksasa diiringi tarian jenaka.

Jika telah mendengar bunyi tambur bertabuh-tabuh orang-orang akan berdiri di pintu memegang uang receh. Saat sampai di pintu sebuah rumah, Simuntu akan menari-nari sehingga melahirkan suara gesekan “bulu-bulunya” yang lebat. Tarian itu berlangsung sampai si empunya rumah memasukkan uang receh ke kantong plastik besar yang tergantung di leher Simuntu.

Festival arak-arakan Simuntu menambang, minta sumbangan, dimulai dari kantor wali nagari. Semua perkakas seperti tambur, tasa akan disimpan di kantor pemuda, untuk dipakai esok hari. Setiap hari biasanya ada empat sampai enam Simuntu yang memeriahkan lebaran haji ini di Maninjau. Mereka mendatangi setiap rumah meminta sumbangan, dan biasanya uang terkumpul digunakan untuk kegiatan kepemudaan, mesjid, atau musibah seperti korban gempa tsunami di Pagai Selatan, Mentawai baru-baru ini.

Setiap hari biasanya ada empat sampai enam Simuntu yang memeriahkan lebaran di Maninjau. Bahkan Simuntu dari kampung tetangga pun datang seperti dari nagari Koto Kaciak, Koto Gadang, dan lainnya. Sayangnya, hoyak, festival, tari Simuntu ini tak termenej secara baik, padahal ia bisa menjadi salah satu atraksi menarik bagi wisatawan lokal, khususnya para perantau di Maninjau.

demistikasi keangkeran simuntu

Demistikasi Keangkeran

Sejak lama masyarakat Minangkabau membuat media konstruksi identitas kebudayaan mereka melalui sastra klasik/ tradisi oral seperti Tambo, kaba, pepatah-petitih, dan mistico-tradisi. Tapi disebagian daerah, seperti Maninjau konstruksi-konstruksi itu mengalami rasionalisasi atau demistikasi. Sehingga tak heran festival Simuntu yang hadir tiap tahun bukannya menyudutkan rasio pada takhyul, sebaliknya menyadarkan realitas di balik topeng-topeng ketakutan yang dipakai Simuntu.

Festival arak-arakan simuntu menambang, minta sumbangan, dimulai dari kantor wali nagari. Semua perkakas seperti tambur, tansa, akan disimpan di kantor pemuda, untuk dipakai esok hari. Setiap hari biasanya ada empat sampai enam simuntu yang memeriahkan lebaran. Mereka mendatangi setiap rumah meminta sumbangan, dan biasanya uang terkumpul digunakan untuk kegiatan kepemudaan, masjid, atau membantu masyarakat yang terkena musibah bahkan dijaman penjajahan digunakan sebagai sarana untuk memungut sumbangan untuk biaya berperang,

Mitos bagi orang Maninjau sebuah identitas. Sebagai urang lawik, orang laut—mereka selalu menyebut Danau Maninjau sebagai laut—mereka memang tak bisa melepaskan diri dari beberapa mitos menyangkut migrasi dan tradisi yang mereka ciptakan sebagai penanda. Meskipun sering dipandang remeh, sesungguhnya mitos di tangan orang Maninjau memiliki anasir pembentuk, penguat, serta dialektik kebudayaan dalam menilai sebuah perubahan. Di tengah kuatnya pergulatan idealisme adat dan hilangnya kepercayaan komunitas Minangkabau atas identitasnya di era multi media kini, mitos Simuntu menawarkan warna dan resepsi baru tentang upaya negosiasi serta revitalisasi keminangkabauan menghadapi tantangan modernitas, khususnya dunia anak-anak yang mudah menerima hal-hal baru dan eksaiting.


Sumber : http://archive.kaskus.co.id/thread/16886623/0/simuntu-halloween-dari-sumatera-barat
Comments